Rasionalitas partai selalu mengedepankan kepentingan partai dan kadernya. Tidak peduli bahwa hal itu bertentangan dengan kecerdasan masyarakat dan kehendak publik. Selama tidak terjadi kasus hukum itu pun setelah jadi terpidana maka partai akan terus membela kepentingan kader yang diatasnamakan kepentingan partai.
Inilah yang terjadi dengan masalah yang membelit Wali Kota Surabaya Tri Rismaharani. Ini pula yang menyebabkan partai kehilangan simpati, kehilangan kepercayaan, kehilangan dukungan, dan kehilangan suara dalam pemilu. Kasus ini bisa menjelaskan mengapa PDIP tidak menjadi partai besar di Surabaya dan Jawa Timur pada umumnya.
Wali Kota hebat yang pernah dimiliki negeri ini, Risma mau mundur dari jabatannya. Para elit PDIP menyatakan Risma sedang mendapat tekanan politik. Dengan berkata demikian, seakan-akan masalah utama Risma adalah tekanan politik dari luar, juga dari luar PDIP. Sekjen PDIP Tjahjo Kumolo menyebut, ada politik adu domba.
Bagi Risma, hasrat mundur itu dipicu oleh masalah sederhana: proses pengajuan dan penetapan wakil wali kota tidak sesuai prosedur. Risma khawatir, jika pengajuan dan penetapan wakil wali kota ini diteruskan, akan menimbulkan masalah politik di belakang hari. Tanpa berkata, Risma ingin pengajuan dan penetapan wali kota diulang. Sikap Risma ini juga didukung oleh fraksi-fraksi di DPRD Surabaya.
Namun di balik alasan yang sederhana itu, sebetulnya warga Surabaya sudah tahu bahwa Risma tidak cocok dengan Whisnu Sakti Buana. Inilah kader PDIP yang diajukan partai untuk menjadi wakil wali kota yang ditinggalkan Bambang DH.
Ketika menjadi wakil ketua DPRD Surabaya, Whisnu menjadi motor penggerak pemberhentian atau pemakzulan Risma. Keputusan ini didukung enam dari tujuh fraksi, termasuk Fraksi PDIP. Banyak alasan yang dipakai. Tetapi warga Surabaya tahu masalah intinya: Risma menaikkan pajak baliho. Padahal banyak anggota Dewan yang memiliki perusahaan baliho, atau setidaknya menjadi beking perusahaan baliho.
Pemakzulan gagal. Selain tidak disetujui Mendagri, tindakan itu juga mendapat perlawanan warga Surabaya. Saat itu elit PDIP Jakarta tidak banyak bersuara, sampai Risma berhasil keluar dari kemelut politik, semata atas dukungan publik.
Kini situasinya berbeda. Elit PDIP kompak menyalahkan menteri dalam negeri dan gubernur Jawa Timur sebagai pihak yang melegalkan proses penetapan wakil wali kota. Memang terdapat kejanggalan proses pengajuan dan penetapan wakil wali kota sebagaimana ditemukan oleh fraksi-fraksi DPRD Surabaya. Beberapa persyaratan administrasi tidak dipenuhi, tapi Whisnu tetap dilantik.
Jika memang itu masalahnya, mengapa PDIP hanya meributkan gubernur Jawa Timur dan mendagri sebagai biang masalah? Mengapa Whisnu tidak dipersalahkan atau dibiarkan mengikuti pelantikan wakil wali kota padahal sudah tahu itu menyalahi prosedur? Mengapa juga PDIP tidak menaruh respek ke Risma, dengan mengikuti kehendaknya agar prosesnya diulang agar sesuai prosedur, baru dilantik?
Tentu saja elit PDIP banyak melakukan kalkulasi politik. Bagi PDIP, Risma bukanlah kadernya. Oleh karena itu membela Risma sama dengan membenamkan Whisnu. Jika itu terjadi Whisnu akan melakukan perlawanan dan dampaknya bisa meluas. Apalagi ini menjelang pemilu, sehingga kenekatan Whisnu bisa diwadahi oleh partai lain.
Apalagi bila menengok ke belakang, sejarah PDIP di Jawa Timur banyak diwarnai oleh pengkhianatan kadernya. Ingat, Kongres Luar Biasa PDI 1993 di Surabaya. Saat itu peserta kongres menghendaki Mega menjadi ketua umum. Tapi dengan memakai Ketua DPD Jawa Timur Latief Pudjosakti, pemerintah menggusur Mega dan menghancurkan PDI.
Situasi dan kondisi yang berbeda tidak membuat berubah kalkulasi. Bagi elit PDIP terlalu kejam mengorbankan Whisnu yang mungkin saja sudah banyak berkorban termasuk menggelontorkan uang hanya demi Risma. Dia memang wali kota hebat yang siang malam pikiran dan tenaganya tercurahkan buat warga Surabaya. Tapi dia tidak pernah memikirkan masa depan partai.